Asal Usul Nama Desa Balongpanggang

Asal-usul sejarah Balongpanggang

Kecamatan Balongpanggang Kabupaten Gresik, terletak di arah barat daya dari Kota Gresik, berjarak sekitar 30 KM. Berbatasan dengan Kecamatan Mantup Lamongan, di sebelah barat. Sebelah timur Kecamatan Benjeng, sebelah selatan Kecamatan Dawarblandong Mojokerto dan sebelah utara Kecamatan Sarirejo Lamongan.

Membawahi 25 administrasi pemerintahan desa, tipe daerah agraris, mayoritas mata pencaharian pertanian. Di kecamatan ini terkenal dengan “Pasar Kemis”, yaitu pasar hewan (sapi dan kambing) yang ada setiap hari Kamis. Dulu terletak di lapangan Surojenggolo Desa Kedungpring, namun sekarang sudah pindah Ke lapangan Desa Balongpanggang.

Desa Balongpanggang menjadi ibu kota kecamatan. Kantor Muspika (Kecamatan Koramil dan Polsek ), Puskesmas, UPT Dinas Pendidikan berada di wilayah ini. Ramainya pasar desa Balongpanggang menjadi pusat bisnis dan perputaran uang, tempat berkumpulnya banyak orang, menambah terkenalnya desa ini. Ditambah lagi ada terminal Lyn BP, Balongpanggang-Pasar Turi, menjadi semakin dikenal bahkan sampai Surabaya.

Dari kata Balongpanggang, anda mungkin pernah berpikir Balong sama dengan “tulang”. Sehingga Balongpanggang diartikan tulang dipanggang. Kemudian anda membayangkan di daerah ini dahulu kala masyarakatnya sangat miskin dan serba kekurangan, hanya untuk mengganjal perut agar tidak keroncongan, mereka rela memanggang tulang hewan yang dagingnya sudah tidak ada lagi, untuk di makan. Wah ngeri tuh… 🙂

Asal usul Balongpanggang menurut cerita rakyat yang berkembang, kisah ini berawal dari Sunan Giri III, yaitu Sunan Margi. Beliau melakukan perjalanan dari Giri (Gresik) menuju ke Majapahit. Jalur yang dilewati melalui Cerme, Benjeng, Balongpanggang menuju ke barat, Mantup Lamongan.

Ketika sampai ditempat ini beliau berisitirahat. Sunan Margi adalah Raja  ke tiga dari kerajaan Giri Kedaton. Sebagai raja kerajaan islam yang mendapat gelar Sunan, maka beliau juga berdakwah untuk mengenalkan Islam dan mengajak orang-orang untuk menyembah Allah swt. Islam waktu itu adalah agama baru bagi, mereka lebih terbiasa menyembah gerumbul, pohon-pohon tua, atau tempat-tempat angker sebagai persembahan untuk leluhur nenek moyang.

Keyakinan baru yang dibawa Sunan Margi, agama Islam, menimbulkan ancaman bagi keyakinan/agama lama yang telah diyakini sejak moyangnya. Sehingga ketika Sunan Margi meminta ijin mengambil air wudlu di Balong (kolam/jublang sumber air) untuk melaksanakan sholat, warga menolak, tidak mengijinkan. Mereka memperlakukan Sunan Margi dengan tidak baik.

Karena kehadiran Sunan Margi tidak diharapkan, beliau meneruskan perjalanan ke Mojopahit, lagipula di sini hanya mampir istirahat. Mengambil arah ke barat beliau menuju Mantup Lamongan. Sepeninggal sunan Margi, keanehan terjadi. Balong/kolam sumber air surut, kering kerontang. Dasarnya retak, merekah menganga seperti habis dibakar atau dipanggang. Mungkin ini adalah peringatan dari Allah swt, atas perlakuan warga kepada Sunan Margi, agar masyarakat sadar dan memeluk agama islam.

Kemudian hingga sekarang tempat ini dikenal luas oleh masyarakat menjadi Balongpanggang. Kira-kira artinya kolam kering seperti dipanggang. Balong artinya kolam/jublang sumber air.

Ini sesuai dengan keadaaan geografis saat ini. Desa Balongpanggang sumber air dari tanah, susah keluar, kalaupun ada jarang sekali dan rasanya asin, sehingga tidak bisa untuk diminum. Bahkan untuk mandi badan rasanya lengket (pliket) dan gerah. Masyarakat Balongpanggang memanfaatkan kolam (jublang, balong) sebagai tempat tandon air hujan, untuk mandi dan cuci. Sedangkan konsumsi minum dan memasak mengambil dari air telaga khusus. Saat musim kemarau air telaga kering,  masyarakat membeli air dari gunung Mantup, atau ngangsu di desa tetangga yang sumber airnya mudah didapat, misalnya Desa Kedungsumber.

Versi lain, kata Balong, banyak tertulis dalam buku peta desa lama, lebih dikenal dengan “Kretek Desa”. Balong berarti blok atau kelompok wilayah terkecil. Sebagai penjelasan pembanding, pada surat Pajak Bumi dan Bangunan, yang saya tahu, biasanya tertulis nomor persil/objek dan nomor blok. Setiap blok terbentuk dari seratusan lebih persil/objek tanah, dalam hal ini sawah ladang dan rumah.

 

Leave a comment